Selasa, 25 November 2008

Ir. Soekarno

Ir. Soekarno
Oleh: Ensiklopedi Tokoh Indonesia

Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.

Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.

Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur. Ideologi pembangunan yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya, apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara miskin).

Bagi Bung Karno, yang ketika kecil bernama Kusno, ini tampaknya tak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek bengek manajemen pembangunan yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang.

Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).

Masa kecil Bung Karno sudah diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan me-lanjutkan ke THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.

Kemudian, ia merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, si penjajah, menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul ‘Indonesia Menggugat’, dengan gagah berani ia menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas (1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Ia pun tak mau membubarkan PKI yang dituduh oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang kekejaman pembunuh para jenderal itu. Suasana politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 ia mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya. Sebab Soeharto menggunakan Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati para politisi dan mahasiswa serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan menolak pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Kemudian Bung Karno ‘dipenjarakan’ di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya terus memburuk. Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak. Dari Fatmawati mendapatkan lima anak yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Dari Hartini mendapat dua anak yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan dari Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mendapatkan seorang putri yaitu Kartika.

Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.

“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.

Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.

Ia adalah seorang cen-dekiawan yang meninggal-kan ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.

Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.

Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.

Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobio-grafinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”

Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”

Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.

“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika itu.

Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).

Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.

Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.

Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.

Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.

Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.

Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).

Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.

Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.

Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?

Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.

Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.

Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.

Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara. ► e-ti/crs, dari berbagai sumber

http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=22

Mohammad Hatta

Mohammad Hatta
Oleh: ensiklopedi tokoh Indonesia

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.

Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.

Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=22

Chairil Anwar

Chairil Anwar
Oleh: ensiklopedi tokoh Indonesia

Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1) Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953); 2) Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972); 3) Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974); 4) S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976); 5) Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);

6) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976; 7) H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983); 8) Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984); 9) Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985); 10) Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987); 11) Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995); 12) Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996). ►e-ti/tsl, dari berbagai sumber

http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=22

Ki Hajar Dewantara


Ki Hajar Dewantara
Oleh: ensiklopedi tokoh Indonesia

Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.

Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.


Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.


Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi

http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=22

imam bonjol

Imam Bonjol
Oleh: Wikipedia Indonesia


Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Indonesia pada tahun 1772.Beliau kemudiannya meninggal dunia di Manado, Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Khusus Lotak, Minahasa.

Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia berasal dari Sumatera Barat. "Tuanku Imam Bonjol" adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.

Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belandayang memiliki semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).

Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol.

Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda. Namun gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan kedudukan Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut "Perjanjian Masang". Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai, maka Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra Barat.

Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam Bonjol dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi pada tahun 1832.

Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan Gabernor Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia mengajak Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Palakat Panjang", Tapi Tuanku Imam curiga.

Untuk waktu-wakyu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah tiga tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Ogos 1837.

Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional.

Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Imam Bonjol. Sebuah relief menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di samping bangunan ini adalah rumah asli tempat Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya

http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=22

biografi pangeran diponerogo

Pangeran Diponegoro
Oleh: Wikipedia

Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.

Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro.

Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.

30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

lokasi makam Pangeran Diponegoro di Jl. Diponegoro Makassar, Sulawesi Selatan. Juli 2008 Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai saat ini keturunan Ki Sodewo masih tetap eksis dan salah satunya menjadi wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono.

Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.

http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=22